Jumat, 11 Januari 2013

Hubungan Hukum Dagang dan Perdata


            Prof. Subekti S.H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena sebenarnya “Hukum Dagang” tidaklah lain daripada “Hukum Perdata”, dan perkataan “dagang” bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian ekonomi.
            Seperti telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHS dan KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi (yang menjadi sumber terpenting dari Hukum Perdata Eropa Barat) belum ada peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antar negara baru mulai berkembang pada abad pertengahan.
            Di Nederland sekarang ini sudah ada aliran yang bertujuan menghapuskan pemisahan Hukum Perdata dalam dua Kitab Undang-Undang itu (bertujuan mempersatukan Hukum Dagang dan Perdata dalam satu Kitab Undang-Undang saja).
            Pada beberapa negara lainnya, misalnya Amerika Serikat dan Swiss, tidaklah terdapat suatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang terpisah dari KUHS. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi orang-orang “pedagang” saja, misalnya:
a.                  Hanyalah orang pedagang yang diperbolehkan membuat surat wesel dan sebagainya.
b.                  Hanyalah orang pedagang yang dapat dinyatakan pailit; akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, juga bagi orang yang bukan pedagang sebagaimana juga KUHS berlaku bagi setiap orang termasuk juga seorang pedagang. Malahan dapatlah dikatakan, bahwa sumber yang terpenting dari Hukum Dagang ialah KUHS. Hal ini memang dinyatakan dalam Pasal 1 KUHD, yang berbunyi:
“KUHS dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”.
Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHS.
Menurut Prof. Subekti; dengan demikian sudah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai Hukum khusus terhadap Hukum umum.
            Dengan perkataan lain menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo: KUHD merupakan suatu LEX SPECIALIS terhadap KUHS sebagai LEX GENERALIS; maka sebagai Lex Specialis, kalau andaikata dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai hal yang dapat aturan pula dalam KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku. Adapun pendapat beberapa sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini antara lain adalah sebagai berikut:
a.                  Van Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS memuat hukum perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit itu.
b.                  Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS.
c.                  Sukardono menyatakan, bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata Umum sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”.
d.                  Tirtamijaya menyatakan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.
Dalam hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata ini dapat pula kita bandingkan dengan sistem hukum yang bersangkutan di negara Swiss. Seperti juga di tanah air kita, juga di negara Swiss berlaku dua buah kodifikasi, yang kedua-duanya mengatur bersama hukum perdata, yakni:
1.                  SCHWEIZERICHES ZIVILGESETZBUCH dari tanggal 10 Desember 1907 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1912.
2.                  SCHWEIZERICHES OBLIGATIONRECHT dari tanggal 30 Maret 1911, yang mulai berlaku juga pada tanggal 1 Januari 1912.
Kodifikasi yang ke II ini mengatur seluruh Hukum Perikatan yang di Indonesia diatur dalam KUHS (buku ke III) dan sebagian dalam KUHD.
Sumber : google search_pengertian hukum dagang.pdf
 Hubungan Hukum Dagang dan Perdata
Prof. Subekti S.H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena sebenarnya “Hukum Dagang” tidaklah lain daripada “Hukum Perdata”, dan perkataan “dagang” bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian ekonomi.
Seperti telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHS dan KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi (yang menjadi sumber terpenting dari Hukum Perdata Eropa Barat) belum ada peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antar negara baru mulai berkembang pada abad pertengahan.
Di Nederland sekarang ini sudah ada aliran yang bertujuan menghapuskan pemisahan Hukum Perdata dalam dua Kitab Undang-Undang itu (bertujuan mempersatukan Hukum Dagang dan Perdata dalam satu Kitab Undang-Undang saja). 
Pada beberapa negara lainnya, misalnya Amerika Serikat dan Swiss, tidaklah terdapat suatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang terpisah dari KUHS. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi orang-orang “pedagang” saja, misalnya:
a. Hanyalah orang pedagang yang diperbolehkan membuat surat wesel dan sebagainya.
b. Hanyalah orang pedagang yang dapat dinyatakan pailit; akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, juga bagi orang yang bukan pedagang sebagaimana juga KUHS berlaku bagi setiap orang termasuk juga seorang pedagang. Malahan dapatlah dikatakan, bahwa sumber yang terpenting dari Hukum Dagang ialah KUHS. Hal ini memang dinyatakan dalam Pasal 1 KUHD, yang berbunyi:
“KUHS dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”.
Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHS.
Menurut Prof. Subekti; dengan demikian sudah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai Hukum khusus terhadap Hukum umum.
Dengan perkataan lain menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo: KUHD merupakan suatu LEX SPECIALIS terhadap KUHS sebagai LEX GENERALIS; maka sebagai Lex Specialis, kalau andaikata dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai hal yang dapat aturan pula dalam KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku. Adapun pendapat beberapa sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini antara lain adalah sebagai berikut:
a. Van Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS memuat hukum perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit itu.
b. Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS.
c. Sukardono menyatakan, bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata Umum sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”.
d. Tirtamijaya menyatakan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.
Dalam hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata ini dapat pula kita bandingkan dengan sistem hukum yang bersangkutan di negara Swiss. Seperti juga di tanah air kita, juga di negara Swiss berlaku dua buah kodifikasi, yang kedua-duanya mengatur bersama hukum perdata, yakni:
1. SCHWEIZERICHES ZIVILGESETZBUCH dari tanggal 10 Desember 1907 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1912.
2. SCHWEIZERICHES OBLIGATIONRECHT dari tanggal 30 Maret 1911, yang mulai berlaku juga pada tanggal 1 Januari 1912.
Kodifikasi yang ke II ini mengatur seluruh Hukum Perikatan yang di Indonesia diatur dalam KUHS (buku ke III) dan sebagian dalam KUHD.
Sumber : google search_pengertian hukum dagang.pdf





Tidak ada komentar:

Posting Komentar